Saturday, March 5, 2011

Seni Indonesia - Saat Affandi Bicara

PERKEMBANGAN SENIMAN:
 =======================
 CHRIS: Bagaimana seni di Indonesia bisa
 berkembang dengan baik?
 
AFFANDI: Tidak peduli apakah pameran seni
 Indonesia diadakan di Indonesia atau di luar
 negeri.
 Kalau tidak ada pameran, maka seni Indonesia
 tidak akan dikenal. Kita juga harus memikirkan
 tentang mutu lukisannya.
 Misalnya, saya diundang untuk ambil bagian
 dalam kelompok yang mewakili Indonesia
 dalam Sao Paulo Brazilian Art Biennale.
 Kurator pemerintah dari Jakarta juga
 mengirimkan lukisan-lukisan seniman lain
 ke sana.
 Waktu saya tiba disana, saya kecewa dengan
 mutu lukisan yang dikirim dari Indonesia.
 Semuanya jelek.
 Saya tanya kuratornya mengapa tidak
 mengirim lukisan yang terbaik sayang sekali
 dia tidak mengerti apa-apa tentang Biennale
 inilah tempat untuk menunjukkan karya yang
 terbaik dan terkuat dalam dunia seni.
 Waktu pameran itu dibuka dan banyak
 kritikus dan wartawan yang datang
 mewawancarai saya, dan mereka menulis
 banyak tentang saya karena saya membawa
 karya-karya terbaik saya; dan untungnya
 saya tahu Biennale ini adalah sebuah wadah
 kompetisi, bukan hanya pameran resmi.
 Bisa dibilang, pameran itu gagal untuk
 Indonesia. Tidak ada lukisan yang menang.
 

Portet Diri dan 7 Matahari 1950
 Cat minyak diatas kanvas.
Saat berada di India merasakan
panas teriknya matahari,
serasa 7 matahari membakar kepalaku.

 
Biennale berikutnya diadakan di Italy. Sekali lagi Indonesia diundang tapi
panitianya hanya mengundang satu pelukis, yang bernama Affandi,
yang lukisannya pernah dipamerkan di Brazil. Hanya saya yang dapat undangan.
Saya memenangkan satu hadiah disana, tapi saya beruntung karena seniman- seniman
besar, seperti Picasso, tidak ikut dalam Biennale itu.
CHRIS: Bagaimana mulainya ASRI Yogya (institut seni) pada tahun '40an?
AFFANDI: Banyak anak desa yang datang ke Yogya untuk belajar menggambar.
Beberapa kelompok seniman memutuskan untuk bekerja sama membangun sebuah
gedung pameran. Semuanya biayanya ditanggung oleh kelompok-kelompok ini.
Setelah itu, pemerintah membangun sebuah gedung untuk Akademi Seni.
Seniman dari kelompok-kelompok inilah yang ditunjuk untuk menjadi pengajar disana.
Hendra, saya dan lainnya ikut terpilih. Kami harus menerimanya, walaupun kami tidak mau.
Kami tidak bisa mengajar karena kami seniman, bukan guru. Kami memulai institusi ini.
Kami sudah katakan bahwa kami tidak akan lama disini.
Kalau asisten kami sudah bisa mengajar, maka mereka yang akan meneruskan.

 CHRIS: Pada awalnya, apa yang
 mempengaruhi gaya anda? Van Gogh?
 AFFANDI: Saya menyukai garis-garis
 lengkung karena ini datang dari perasaan
 yang saya dapatkan dari Wayang Kulit.
 Kalau anda amati wayang kulit, anda bisa
 melihat tidak ada garis lurus di situ.
 Walaupun kelihatan lurus tegak tapi dari
 atas sampai bawah, penuh berisi garis-garis
 lengkung. Umur saya sekarang 76 tahun,
 tapi dari kecil saya selalu suka pertunjukkan
 wayang kulit. Saya suka seni tradisionil
 seperti ini. Saya bisa duduk menonton
 wayang dari sore sampai pagi. Saya suka
 duduk di samping Pak Dalang, memberikan
 wayang apa yang dia perlukan.
 Melalui kecintaan akan wayang inilah saya
 mulai melukis. Saya jarang menggunakan
 objek pemandangan atau abstrak.
 Saya melihat seni di Amerika banyak
 menggunakan garis-garis lurus. Waktu saya
 di Amerika, karena apa yang saya lihat
 disana, karya-karya saya menjadi tidak
 jujur. Saya tidak suka karya-karya itu.
 Dibandingkan dengan di Eropah, dimana
 periode French Baroque penuh dengan
 garis-garis lengkung. Mungkin
 ketinggalan jaman, tapi saya suka
 lengkungan.
 
 Wisdom of the East, 1967, fresco mural
 CHRIS: Pengaruh dari layar wayang mungkin juga mempengaruhi kebutuhan
 anda dengan kanvas yang besar. Drama dalam lukisan anda juga mirip.
 Bagaimana dengan realisme sebagai tujuan untuk anda sendiri?
 AFFANDI: Saya, sebagai pelukis, tidak suka kemiripan terhadap kenyataan.
 Saya akan tunjukkan bagaimana saya melukis, kenapa dan semuanya.
 Sejak dari mula saya tidak suka lukisan naturalisme atau realisme.
 Faktor pertama yang penting dalam melukis adalah objeknya.
 Awalnya, objek realisme saya ditentukan oleh objek itu sendiri.
 Misalnya, kalau saya mau melukis ibu saya, maka objek itu yang mengendalikan
 apa yang harus saya lukis. Kalau objeknya berubah, misalnya ada nyamuk yang
 hinggap di hidung ibu saya, maka lukisannya juga berubah sesuai dengan objeknya.
 Faktor kedua yang penting adalah Mata Saya Harus Terus Terbuka supaya saya
 bisa membuat lukisan yang realis dan natural. Setelah beberapa tahun belajar realisme,
 guru saya Pak Saffei Sumarja yang melihat lukisan saya, mengatakan
 “Pak Affandi, anda sudah membuktikan bahwa anda mengerti dan bisa membuat
 lukisan realisme. Sekarang, terserah anda kalau anda mau melukis dengan gaya anda sendiri.”
 Saya memutuskan untuk meninggalkan realisme dan kembali ke ide awal saya.
 Waktu lukisan saya baru selesai, bentuknya masih belum jelas karena saya belum
 mengenal objeknya dengan baik. Kalau saya tidak puas, saya tinggalkan, sampai
 saya sudah mendalami dan menemukan sesuatu yang lain dari objek itu.
 Ketika saya sudah bisa menyatu dengan objek itu, maka saya bisa mulai lagi.
 Itulah cara saya melukis.

0 comments:

Post a Comment

Tailor-made Logo Design at 99designs

Chitika